Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menyoroti meningkatnya jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai operator judi online di Kamboja. Iming-iming gaji besar membuat banyak yang nekat berangkat ke Kamboja.
Untuk membahas hal ini, kami telah berbincang dengan Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migran Care, Nur Hasono.
Menurut Bang Nur, ada beberapa faktor yang menyebabkan fenomena ini. Salah satunya adalah belum maksimalnya pengawasan dan tingginya angka pengangguran. Selain itu, banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa tawaran-tawaran tersebut adalah jebakan yang berujung pada eksploitasi sebagai operator judi online maupun scammer di negara-negara ASEAN seperti Kamboja dan Myanmar.
Hal ini memicu masyarakat, terutama yang berusia 18 hingga 35 tahun, yang melek teknologi dan memiliki kemampuan bahasa asing, untuk menerima tawaran-tawaran menggiurkan seperti menjadi operator di perusahaan produksi game online.
Iklan-iklan lowongan kerja sebagai operator judi online sering muncul di media sosial, khususnya Facebook. Meskipun pihak-pihak terkait telah berupaya men-take down iklan-iklan tersebut, namun dunia digital dan media sosial memiliki filter yang tidak mudah.
Bang Nur menjelaskan bahwa korban sering mendapatkan tawaran dari platform-platform bisnis resmi seperti forex trading, crypto, NFT, dan game tebak skor bola. Tawaran-tawaran ini dianggap resmi dan meyakinkan, sehingga pemerintah kesulitan untuk menindak. Meskipun banyak yang telah di-take down, platform-platform baru terus bermunculan.
Kasus scammer dan judi online ini sebenarnya sudah dimulai sejak lama, bahkan sebelum pandemi. Data dari Kementerian Luar Negeri menunjukkan bahwa pada tahun 2020, mereka telah menerima pengaduan korban scammer maupun judi online.
Menariknya, banyak korban berasal dari kalangan berpendidikan tinggi. Ada dua kelompok korban: mereka yang sejak awal mengetahui bahwa akan bekerja sebagai operator judi online, dan mereka yang tidak mengetahui dan baru menyadari setelah berada di Kamboja atau Myanmar.
Beberapa daerah di Indonesia, seperti Jakarta dan Sumatera Utara, menjadi kantong-kantong judi online. Sindikat-sindikat di Indonesia berjejaring dengan sindikat di Kamboja, Myanmar, dan Thailand. Korban sering dipaksa untuk memenuhi target kerja, dan jika gagal, mereka harus mengganti biaya yang tidak sedikit, bahkan bisa mencapai 80 hingga 150 juta rupiah. Jika tidak bisa memenuhi target, mereka akan dijual ke perusahaan lain atau dipaksa merekrut teman-temannya.
Meskipun pemerintah telah melakukan banyak hal, seperti men-take down situs dan aplikasi judi online, namun masih banyak masyarakat yang belum menyadari bahaya tersebut. Oleh karena itu, diperlukan informasi yang masif dan edukasi kepada masyarakat.
Pemerintah juga perlu memaksimalkan peran gugus tugas TPPO dari tingkat pusat hingga desa, serta melibatkan akademisi dan praktisi untuk melakukan pencegahan. Diplomasi dengan negara-negara seperti Kamboja dan Myanmar juga penting untuk menegakkan hukum terhadap warganya yang mengeksploitasi warga negara Indonesia.
Operator judi online menjadi tren dan daya tarik untuk bekerja di luar negeri. Satu orang yang berangkat bisa membawa empat orang lainnya karena iming-iming gaji besar. Namun, perbedaan hukum antara Indonesia dan Kamboja membuat penindakan menjadi sulit.
Pemerintah Indonesia harus memaksimalkan pengawasan dan edukasi kepada masyarakat untuk mencegah maraknya judi online.
Video menarik lainnya
Ahmad Muzani meragukan keterlibatan Dasco dalam bisnis judi online di Kamboja, menanggapi laporan media yang…
Seorang pegawai bank di Jambi gelapkan Rp381 juta dari 28 nasabah untuk judi online
Kisah Febi, mantan admin judi online asal Bekasi, yang mengalami tekanan kerja ekstrem di Kamboja
Pak Harto menyoroti bahaya judi online yang marak di era digital dan menyerukan tindakan tegas…
Banyak WNI tergiur gaji besar sebagai operator judi online di Kamboja, meski risikonya tinggi dan…
Mengulas sejarah judi online di Kamboja, keterlibatan warga Indonesia, hingga dampaknya bagi masyarakat dan ekonomi…