- Kasus di Yogyakarta: sekelompok orang ditangkap karena merugikan bandar judi online, bukan karena menjadi bandarnya.
- Publik heran, mengapa polisi justru melindungi bandar?
- Dugaan muncul bahwa ada strategi tersembunyi atau bahkan kebohongan dalam tindakan kepolisian.
- Modus pelaku: memanfaatkan promo dan cashback judi online untuk mendapatkan keuntungan.
- Polisi menuduh pelaku dengan ancaman hukuman 10 tahun dan denda Rp10 miliar.
- Kejanggalan muncul dari klaim polisi soal laporan warga dan pelibatan intel.
- Analisis Guru Gembul: bisa jadi polisi justru sedang melakukan “promosi terselubung” judi online.
- Kasus ini dikaitkan dengan skandal lama, Konsorsium 303, yang melibatkan oknum kepolisian.
- Nama-nama besar seperti Ferdy Sambo hingga Irjen lain disebut pernah terlibat.
- Dugaan makin kuat bahwa promosi judi online dilakukan melalui jalur kekuasaan.
Cerita Lengkap
Assalamualaikum, Baraya. Selamat datang kembali di Guru Gembul Channel. Baraya tentu sudah tahu, baru-baru ini ada kejadian cukup unik di Yogyakarta. Sekelompok orang ditangkap oleh pihak kepolisian bukan karena menjadi bandar, melainkan karena merugikan bandar judi online.
Orang-orang pun mulai berpikir aneh. Maksudnya apa? Teori konspirasi bermunculan, dan saya yakin ini juga jadi bahan obrolan ramai di grup-grup WA para perwira kepolisian. Banyak di antara kita mungkin berpikir, “Polisi sebodoh itu kah?” Karena mereka bahkan dengan bangga menggelar konferensi pers, menyebut telah menangkap orang-orang yang “meng-hack” bandar judi online.
Padahal, bandar judi online itu musuh masyarakat, dibenci luar biasa. Tapi ketika mereka dirugikan oleh pihak dari Yogyakarta, polisi malah menangkap para pelakunya. Nah, ini yang bikin banyak orang curiga. Tapi saya mulai berpikir sesuatu yang lain. Jangan-jangan polisi bukan kelewat bodoh, tapi justru sangat cerdas — dan sedang memainkan strategi yang kita belum pahami.
Mari kita urutkan dalam tiga lapisan analisis.
Pertama, polisi mengatakan bahwa pada Juli 2025 mereka menangkap pemain judi online yang melakukan kecurangan hingga merugikan bandar sebesar Rp50 juta per bulan selama satu tahun. Kedua, modus mereka adalah memanfaatkan promo dan cashback bagi pelanggan baru. Setelah mendapat uang, mereka mengganti nomor, daftar lagi, dan terus mengulangnya. Ketiga, para tersangka diancam dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.
Menurut polisi, laporan ini berasal dari warga, dan mereka bahkan mengirim intel untuk menyelidiki. Tapi dari lima poin itu saja, banyak kejanggalan yang bisa kita lihat.
Pertama, apakah benar ada orang yang bisa mengakali algoritma judi online hingga untung Rp50 juta per bulan? Nyatanya tidak mungkin. Karena sejatinya, judi online bukan permainan acak, tapi penipuan sistematis. Semua sistemnya dibuat agar pemain selalu kalah, dan jika menang, itu pun diatur manual oleh operator untuk memancing korban bermain lebih lama.
Jadi kalau ada yang bisa menang besar secara konsisten, itu jelas mustahil. Maka, bisa jadi klaim polisi soal pelaku yang menipu bandar adalah kebohongan.
Kedua, soal ancaman pidana 10 tahun dan denda Rp10 miliar. Siapa yang sebenarnya dirugikan? Kalau negara, rakyat, atau pemerintah, itu bisa masuk akal. Tapi di sini yang dirugikan justru bandar judi online — yang seharusnya ditangkap, bukan dilindungi.
Aneh, bukan? Orang yang bisa mengelabui bandar seharusnya diberi penghargaan, bukan dipenjara.
Ketiga, polisi mengaku mendapat laporan dari warga. Tapi warga sekitar justru mengaku tidak tahu apa-apa. Bahkan ketua RT baru tahu lima hari kemudian, setelah berita penggerebekan ramai di media. Jadi warga yang mana yang dimaksud polisi?
Lebih janggal lagi, polisi bilang mereka langsung mengirim intel untuk menyelidiki laporan tersebut. Padahal pemain judi online di Indonesia jumlahnya jutaan, dan keberadaannya sering kali terang-terangan. Tidak perlu intel segala.
Dari kejanggalan-kejanggalan itu, wajar muncul dugaan: laporan itu sebenarnya datang dari bandar, bukan warga. Dan anehnya, polisi malah dengan bangga memamerkan penangkapan itu di depan media.
Apakah mungkin polisi sebodoh itu? Saya rasa tidak. Saya justru menduga ada skenario lain. Mungkin polisi sedang melakukan promosi terselubung untuk judi online.
Coba lihat, dalam konferensi pers itu, mereka terus menegaskan bahwa judi online punya promo dan algoritma yang bisa “diakali”. Pernyataan ini secara tidak langsung mengundang rasa penasaran publik. Seolah-olah polisi sedang mempromosikan cara untuk menang di judi online — sebuah marketing S3 untuk menarik masyarakat agar ikut bermain.
Kalau ini benar, maka polisi bukan sekadar melakukan blunder, tapi justru sedang menjalankan agenda terselubung dari pihak yang lebih besar: konsorsium 303.
Kita tentu masih ingat kasus Ferdy Sambo dan teori konspirasi di baliknya. Banyak yang menduga pembunuhan yang dilakukan Sambo terkait bisnis judi online. Dari situ muncul istilah “Konsorsium 303” — jaringan besar yang melibatkan sejumlah perwira polisi sebagai backing bisnis judi online di Indonesia.
Beberapa nama disebut dalam laporan tersebut, mulai dari Ferdy Sambo hingga sejumlah Irjen dan Kombes. Sebagian dipecat, tapi banyak juga yang masih aktif hingga kini.
Kalau konsorsium itu benar ada, bukan tidak mungkin kasus di Yogyakarta ini adalah bagian dari strategi baru mereka. Polisi bisa jadi sedang menciptakan narasi agar judi online kembali viral, dengan dalih penegakan hukum.
Jadi, benarkah ini hanya kebodohan aparat, atau justru promosi terselubung dari jaringan besar Konsorsium 303? Silakan Baraya pikirkan sendiri.
Terima kasih sudah menyimak. Saya Guru Gembul, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Video menarik lainnya
-
Calon Dokter Spesialis Terjebak Judi Online, Habis Rp17 Juta dan Gagal Lanjut Kuliah
-
Satreskrim Polres Metro Jakbar Bongkar Sarang Judi Online
-
Curangi Bandar Judi Online: Hukuman 10 Tahun? Fakta di Balik Dusta Polisi dan Konsorsium 303
-
Markas Judi Online di Kalideres Digerebek Polisi, Dua Operator Langsung Ditangkap
-
Rumah Kontrakan di Kalideres Dijadikan Sarang Judi Online, Omzet Capai Ratusan Juta