Pemberantasan Judi Online di Indonesia – Tantangan dan Upaya Polri

Shares
  • Polri telah mengungkap lebih dari 6.000 kasus judi online sejak 2020, dengan 9.000 tersangka, 5.000 rekening dibekukan, dan 60.000 situs diblokir.
  • Kolaborasi lintas instansi dengan PPATK, OJK, Kominfo, dan penyedia internet untuk memperketat pengawasan digital dan patroli siber.
  • Tantangan besar: jaringan judi online beroperasi dari luar negeri, menggunakan kripto, payment gateway, dan promosi via media sosial.
  • Isu keterlibatan oknum Polri dan aparat lain memengaruhi kepercayaan publik terhadap upaya pemberantasan.
  • Kapolri menegaskan komitmen tegas tanpa pandang bulu, tetapi keberhasilan bergantung pada penutupan sarana judi dan koordinasi lintas instansi.
  • Masyarakat diajak berperan melalui literasi, edukasi, dan pengawasan untuk mencegah judi online.
  • Tantangan terbesar: kecepatan penutupan situs judi harus mengimbangi pembukaan situs baru setiap hari.

Cerita Lengkap

Pemberantasan judi online menjadi isu krusial di Indonesia karena dampaknya yang meresahkan masyarakat. Polri terus menggelar perang terbuka melawan judi online yang semakin meresahkan publik. Sejak tahun 2020, Polri telah mengungkap lebih dari 6.000 kasus judi online dengan 9.000 tersangka yang ditetapkan. Lebih dari 5.000 rekening dibekukan dan 60.000 lebih situs judi telah diblokir. Tak hanya itu, Polri juga menjerat para bandar dengan tindak pidana pencucian uang dan menyita aset senilai ratusan miliar.

Dalam upaya ini, Polri bekerja sama dengan PPATK, OJK, Kominfo, hingga penyedia internet. Pengawasan digital diperketat dengan memperkuat patroli siber dan pelacakan transaksi. Namun, tantangan masih besar. Banyak jaringan judi online beroperasi dari luar negeri, menggunakan kripto, payment gateway, dan promosi melalui media sosial. Tak kalah krusial, publik masih menyimpan keraguan. Isu keterlibatan oknum anggota Polri dalam jaringan judi online membuat upaya pemberantasan ini dipertanyakan. Kepercayaan publik jadi taruhan saat Polri diminta menjawab apakah berani menindak tanpa pandang bulu.

Kapolri Jenderal Listio Sigit menegaskan tak ada tempat bagi judi online di Indonesia. Perang melawan judi ini akan terus berlanjut hingga akar jaringannya benar-benar terputus. Pemirsa, terima kasih masih di One on One bersama saya, Camar Hainda, dan masih bersama dengan Pak Aryanto Sutadi selaku penasihat Kapolri. Pak Aryanto, berkaitan dengan tadi yang sudah kita bahas mengenai posisi Polri, kemudian juga Kapolri yang isunya akan diganti, kita akan beralih ke isu yang saat ini juga ramai diperbincangkan oleh masyarakat, yaitu berkaitan dengan situs judi online. Sejauh ini, bagaimana efektivitas dari penindakan yang dilakukan oleh Polri untuk situs judi online ini?

Saya dengar, setelah dilaksanakan operasi oleh pemerintah, itu cukup signifikan, walaupun yang ditangkap tidak begitu banyak, tetapi situs-situs judi itu bisa ditekan sehingga banyak yang dihapus. Kalau ditinjau dari pemberantasan judi, memang judi itu bisa marak apabila terbiarkan. Judi itu bisa marak apabila terbiarkan. Dulu, zaman dulu, orang mau mengadakan judi itu kan susah, Pak. Mesti nyari dadunya, bikin, kemudian pergi ke pasar konvensional, nyari pemain, kucing-kucingan dengan polisi, dan sebagainya. Nah, kalau sekarang, judi online begitu. Hari ini saya buka, bisa 1.000, 2.000, sekaligus masuk. Jadi, sekarang kesempatan untuk membuka judi itu sangat banyak, sementara kemampuan untuk menindak itu sangat sedikit. Otomatis, judi itu kemarin jadi merajalela dan bahkan sangat membahayakan ke negara.

Jadi, satu-satunya jalan adalah hanya dengan cara secara optimal, secara intensif, memberantas yang memberikan judi itu, bukan menangkap pelakunya. Kalau menangkap pelakunya, bisa cuma satu-dua orang, dan itu pun sulit. Kadang-kadang bandarnya ada di luar negeri dan sebagainya. Tetapi yang harus diutamakan adalah alatnya, judi itu yang harus ditutup sehingga tidak banyak. Jadi, tools-nya yang sekarang ini sudah bagus. Kemarin, dari Komdigi, sudah bisa menutup-nutup itu. Sehingga, sekarang bisa mengatakan kita sudah menutup sekian ribu. Tapi, kalau ukuran keberhasilan, jangan dihitung dari menutup berapa ribu, tapi harus bisa imbang dengan berapa yang buka setiap harinya. Itu jadi perbandingannya. Baru bisa dikatakan berhasil apabila yang ditangkap ini bisa mengimbangi yang buka. Kalau cuma sekarang baru bisa menutup ini, kemudian ini masih banyak, ya belum berhasil. Tapi, paling sedikit sudah lumayanlah, ada penekanan itu.

Nah, satu lagi, kebanyakan kalau ada judi merajalela, pasti polisi sebagai penanggung jawab keamanan selalu dituding, “Wah, ini polisinya gimana?” Padahal, kalau memberantas judi, apalagi judi online, polisi enggak akan mungkin bisa memberantas judi online itu. Karena buka situs itu sangat cepat, ribuan. Polisi enggak bisa mempunyai alat deteksi untuk nangkap itu. Dan kemudian, kalau diproses secara hukum, satu penjudi ditangkap, prosesnya paling tiga bulan baru bisa dikirim ke pengadilan. Sementara, ini hari per hari buka. Makanya, untuk memberantas judi online ini, tidak bisa ditumpahkan kepada polisi, tidak bisa ditumpahkan kepada penegakan hukum, tetapi kepada menutup pembukaan judi-judi itu, kemudian aliran keuangannya di-freeze. Itu baru bisa menandingi maraknya judi.

Artinya, polisi tidak bisa berdiri sendiri. Perlu adanya kolaborasi, tidak bisa ditumpahkan pada polisi sendiri, harus instansi yang lain yang terkait dengan itu. Misalnya, Kominfo yang bisa mengontrol dan menutup. PPATK yang mengetahui jaringan-jaringan itu, perbankan yang bisa ngaprak, minimal itu. Harusnya semua ikut, barulah itu bisa menandingi percepatan daripada online. Koordinasi lintas institusi yang tadi. Tapi, dari yang Anda sampaikan, apa sebetulnya tantangan terbesar yang dihadapi Polri saat ini? Karena, lagi-lagi, masyarakat selalu menjatuhkannya kepada polisi, “Gimana, nih?”

Kalau untuk judi ini, otomatis rakyat loading pada polisi. Di mana polisi tanggung jawabnya? Itu bukan salah rakyat juga. Dan polisi ya enggak harus terima, karena memang tugas pokok polisi. Tetapi, polisi harus bisa menjelaskan bahwa untuk memberantas judi online sekarang ini, kalau mengharapkan kami doang yang bekerja, itu enggak akan mungkin terjadi, karena kita jelas enggak akan mungkin mampu. Kita bukan Nabi Daud lawan Goliat. Sekarang itu, judi sangat masif. Sehari bisa ribuan, sementara kita kemampuan nangkap paling satu orang, ngrosesnya tiga bulan. Makanya, yang harus ditutup adalah sarananya. Dan, kalau saya boleh saran, pemerintah caranya jangan kemudian rakyat menunjuk kepada polisi doang. Polisi enggak mampu, polisinya ganti siapa, itu bukan begitu. Tapi, harusnya solusinya adalah, contohnya, polisi dikasih kewenangan untuk menutup mesinnya. Sekarang kewenangannya kan pada Komdigi untuk menutup itu. Boleh saja polisi, begitu ada indikasi, bisa ikut nutup. Minimal menambah kekuatan.

Termasuk juga aliran dana. Aliran dana yang untuk judi itu, sekarang PPATK cuma, “Ini judi, terus kirimkan kepada polisi, suruh tindak.” Telat itu. Mendingan aliran-aliran yang sudah diketahui itu judi, langsung PPATK dikasih kewenangan untuk freeze. Tangkap itu jadi anu. Bank juga demikian, dilapori, langsung dibuktikan. Harus gitu risikonya. Paling nanti itu mengganggu hak asasi manusia, singkirkanlah tuduhan HAM kayak gitu. Tuduhan HAM itu kan karena untuk mempersingkat. Kalau enggak pakai gitu, kita rugi. Kita pakai, “Wah, mempertahankan HAM,” sementara HAM mereka nginjak-injak HAM orang lain, enggak diapa-apain.

Jadi, berbicara tentang judi online, kita bisa lihat bahwa saat ini ada juga jaringan lintas negara. Apakah juga ada keterlibatan Interpol di sini untuk bisa mengakomodasi tersebut? Ya, memang gara-gara judi itu lintas negara. Jadi, sumbernya ada di luar negeri. Kita, Kamboja, kita enggak punya kewenangan, karena yurisdiksi operasional polisi itu hanya bisa di dalam negeri. Kalau ada kejadian, regulasi itu haknya untuk di dalam negeri diterapkan. Polisi bertindak hanya boleh di wilayah kita. Kalau tancap sana, harus koordinasi dengan polisi sana, namanya polisi internasional. Dan belum tentu judi di luar negeri itu dilarang. Sayangnya, judi tidak semua dilarang di negara, seperti di Myanmar, di Malaysia, itu juga boleh. Jadi, kita mau nangkap orang ke sana, enggak bisa langsung tangkap. Harus orang itu ditangkap oleh polisi sana, baru serahkan ke sini. Sementara orang sana bilang, “Ini kan enggak melanggar.” Itulah kendala kalau kita hanya mendambakan kewenangan polisi yang selama ini untuk mengatasi judi itu.

Tadi, dari Interpol sendiri, tentunya banyak regulasi yang harus dilakukan. Sudah ada kerja sama, tapi kan tidak cepat. Kerja sama itu tergantung dari sana, suka-suka enggak, mau rajin apa enggak, yang kita ajak kerja sama itu. Tapi, sejauh ini, dari pemberantasan judi online yang dilakukan di Indonesia, sebetulnya tidak hanya berkaitan dengan polisi saja, tapi juga dengan masyarakatnya. Apa yang harus dilakukan masyarakat untuk juga bisa membantu polisi?

Kalau penindakan suatu kejahatan, pelanggaran pidana, ataupun gangguan kamtibmas, selalu ada paling sedikit empat strategi. Strategi yang pertama adalah pembinaan. Pembinaan itu supaya, dalam judi ini, adalah membina masyarakat supaya dia bisa kebal terhadap judi. Penyadaran, edukasi, literasi pada mereka bahwa judi itu sebetulnya bukan judi, tapi itu penipuan, itu pemerasan. Karena setiap orang yang main judi itu pasti ruginya. Cuma diiming-iming, dikasih menang dulu, baru nanti diambil. Dan kemenangannya itu bukan karena untung-untungan, tapi diatur oleh bandarnya. Komputerisasi. Kalau diputar, ada 1.000 pilihan, nanti kalau sudah sampai 300, enggak ada, ini kasih kemenangan. Jadi, bukan untung-untungan. Kalau judi fair, untung-untungan, tapi kalau ini, sudah jelas penipuan, pemerasan. Nah, itu literasi masuk dalam pembinaan. Jadi, literasinya adalah pada masyarakat supaya aware pada judi itu. Orang tua juga mengawasi anaknya supaya jangan sampai terlibat judi. Para guru dan semuanya, para ahli, juga menunjukkan bahwa judi itu penipuan.

Terus, prevensi. Kalau prevensi, itu adalah menghilangkan kesempatan itu bisa berlangsung. Kalau tadi menghilangkan niat, sekarang menghilangkan kesempatan. Menghilangkan kesempatan itu bisa terjadi. Caranya, menghilangkan peluang untuk orang mau buka judi online itu. Harus ditekan. Kesempatan orang mau pasang main, harus pakai operasi cyber, katap, tangkap, itu namanya mencegah, fokusnya kepada menghilangkan peluang terjadinya. Kalau penindakan, itu menindak pelakunya, menindak bandarnya, menindak perantaranya, menindak pesertanya. Jadi, ada tiga itu. Yang keempat, koordinasi. Koordinasi dari semua instansi yang terkait dalamnya itu bersama-sama, baru bisa menyelesaikan perjudian ini secara teoritis.

Tidak hanya berkaitan dengan judi online-nya saja, tapi juga yang menjadi perbincangan di masyarakat saat ini adalah mengenai apakah adanya keterlibatan Polri dalam judi online maupun juga institusi ataupun pemangku kebijakan. Kalau itu, saya menerangkannya begini. Secara teoritis, judi itu bisa marak karena terjadi pembiaran. Kalau judi itu tidak dibiarkan, begitu nongol, langsung dibabat, itu enggak akan terjadi judi. Tetapi, sekarang, dulu, waktu zaman belum online saja, cucu di koprok itu bisa marak kalau aparatnya membiarkan. Aparat itu artinya kepala desa, di mana dia main di koprok, puisinya, kadang-kadang kita ambil cuk, istilahnya. Jadi, judi itu bisa marak apabila terjadi pembiaran. Pembiaran itu oleh siapa? Oleh aparat. Aparat itu siapa saja? Bukan polisi saja, pamong desa, ini banyak. Nah, kalau judi online ini, pemberi izin. Sebelum online, judi Mikemus, misalkan, Rotamin itu, pemilik memberikan izin, terus kodim, polisi, orang kalau mau buka, minta izin kepada dia. Jadi, pembiaran itu ada yang karena memang aturannya tidak ada atau memang ada kolusi daripada aparat yang dikasih kewenangan untuk mencegah ataupun menindak.

Seperti judi kemarin itu, Kominfo itu ada yang terlibat. Saya sudah ngomong, kalau kita sebut saat ini yang ramai di masyarakat adalah Menteri Budi Ari. Itu penjelasannya begini, jadi judi itu akan menjadi marak sekali apabila aparat yang berwenang untuk menindak itu ikut berkolusi, melindungi supaya tidak ditindak. Contohnya, yang kemarin itu, yang dikasih kewenangan untuk ngontrol, kemudian malah membebaskan, dikasih uang setiap satu. Itu contoh gejala bahwa itu terjadi pembiaran. Nah, di lingkungan polisi pun, dulu, waktu judi-judi itu, juga ada oknum yang kayak gitu. Harus diakui, memang ada.

Informasi yang kami dapat sekitar satu minggu lalu, Pak Kapolri juga bilang bahwa penindakan tidak pandang bulu, bahkan termasuk pada institusi Polri sendiri. Itu otomatis, Pak Kapolri harus ngomong gitu. Kalau enggak ngomong gitu, ya bukan Kapolri namanya. Dan juga pejabat negara, pasti semua pejabat tanpa pandang bulu. Aparat yang jelas membiarkan terjadinya judi tumarak itu harus ditindak, entah aparatnya polisi, entah dari PPATK. Misalkan, bisa juga PPATK itu membantu kalau dia tahu bahwa itu peredaran, kemudian dipura-pura enggak lihat, itu juga termasuk ikut membantu.

Kalau menurut saya, arahan Kapolri untuk menindak tegas siapa pun tidak pandang bulu, apakah yakin juga akan transparan terhadap institusi Polri dan juga pejabat negara? Nah, tinggal implementasinya. Seorang Kapolri harus memberikan arahan pada bawahan kayak gitu. Untuk penerapannya, untuk menjamin apakah itu betul apa tidak, ya pengawasan yang dilakukan oleh aparat maupun oleh masyarakat. Aparat pasti pada bawahnya mengawasi. Kalau ada yang salah, ditindak. Masyarakat, kalau lihat orang itu curang, ya laporkan. Sekarang, sarana ngelapor kan gampang. Jadi, konsekuensi daripada perintah tadi itu bisa apa tidak, tergantung daripada pengawasannya, baik pengawasan daripada aparat maupun pengawasan dari masyarakat.

Bagaimana Polri bisa memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa tenang saja, bahwa Polri akan melakukan tugasnya sesuai dengan tupoksi, terutama untuk judi ini? Polisi harus bisa menunjukkan prestasi kerjanya. Masyarakat tenang, yang penting, pokoknya, saya tindaklah judi, tunjukkan bahwa polisi mampu menindak pelakunya. Tunjukkan bahwa polisi mau memberikan informasi kepada Kominfo untuk menutup-nutup khusus ini. Polisi kan punya cyber. Dia bisa patroli. Kalau ini patroli, ada, “Wah, Pak, ini diduga ikut-ikut judi, atau ini pemakai.” Itu kemudian info itu segera otomatis sampaikan pada Kominfo, karena polisi kan enggak punya kewenangan untuk menutup itu. Nanti, kalau ada undang-undang yang membolehkan polisi itu supaya efektif, okelah, begitu ada, langsung tutup, sementara nanti baru diresmikan oleh itu. Itu juga bisa.

Apakah publikasi dari hasil kinerja Kapolri menurut Anda dan juga institusi Polri secara keseluruhan ini sudah cukup untuk masyarakat? Karena saat ini banyak masyarakat yang terdistraksi dengan berbagai informasi yang mungkin tidak benar. Saya melihat dalam dua bulan terakhir ini, saya sudah melihat ada usaha polisi untuk mempublikasikan keberhasilan-keberhasilan tugas mereka, bukan hanya judi online saja. Saya kemarin lihat di Kompas, di TV One, di Garuda, banyaklah. Apalagi TV polisi itu, ada khusus, BTV atau apa itu, setiap hari dia menunjukkan keberhasilan polisi di mana pun. Dia sampaikan, itu bagus, karena kalau dulu hampir tidak ada, hanya ada polisi merereslah, posisi salah tembaklah, setiap hari muncul di situ, terus jelek-jelek. Tapi, sekarang sudah agak ada mending, tapi kalau untuk pemberitaan itu mengalahkan dahsyatnya citra negatif, itu belum mengimbangi. Karena, tindakan kalau polisi itu jelek, cita negatif, wah, udah pasti viralnya cepat sekali, seperti bom aja. Tetapi, untuk menetralisir itu, sulit sekali. Apalagi untuk memberikan berita-berita yang positif supaya mengangkat nama baik polisi, enggak akan mengangkat. Itu bisa, tapi lamban.

Mendingan polisi, kalau ada berita negatif, ya harus klarifikasi dan kemudian kalau ada berita-berita yang positif, berikan kesempatan pada pembawaan untuk ngomong supaya bisa diblow up, bisa mengimbangi berita negatif polisi. Pak Aryanto, ini pertanyaan sebelum kita menutup topik kali ini. Kita akan kembali lagi ke tadi yang Anda sampaikan mengenai penindakan tegas dari institusi polisi, tidak hanya tidak pandang bulu dan satunya adalah kepada pejabat yang saat ini sangat ramai diperbincangkan terkait dengan Menteri Budi Ari. Apakah Anda yakin bahwa polisi akan betul-betul menindak tegas dan juga transparan kepada masyarakat secara spesifik?

Saya tidak bisa mengatakan saya yakin apa tidak. Ya, kita lihat saja nanti perkembangannya. Tapi, keyakinan saya, polisi tidak mungkin akan berani berspekulasi dengan tidak meneruskan fakta apa-apa yang ada, yang diterima, dia hanya untuk menutup-menutupi suatu kecurangan seseorang. Keyakinan saya, polisi pasti akan tidak profesional dan mengungkapkan fakta apa adanya, bukan hanya suudzon, tetapi inilah fakta. Kemudian, serahkan aja kepada, kalau seandainya itu ada pidana, ya beritanya sampaikan kepada jaksa, kalau tidak ada, ya diumumkan, “Ini loh, saya sudah bekerja begini, hasilnya begini,” umumkan kepada rakyat, sehingga saya tidak meneruskan masalah ini. Jangan diam aja, polisi, lagi-lagi jangan diam saja, tapi betul-betul ngasih klarifikasi apa yang sudah saya kerjakan, apapun hasilnya, sampaikan pada rakyat, ini biar rakyat yang menilai bahwa polisi itu bekerjanya benar apa tidak.

Pemberantasan judi online bukan hanya tugas Polri, tetapi juga tanggung jawab bersama lintas instansi dan masyarakat untuk memutus rantai penyebarannya secara efektif.

Video menarik lainnya